Kamis, 04 Juli 2013

SEPENGGAL ARTI HIDUP BERARTI UNTUK GITA

SEPENGGAL ARTI HIDUP BERARTI UNTUK GITA
Karya Afifatur Rohmah

Gita adalah seorang gadis remaja yang ramah,santun dan baik hati. Ketulusan hatinya itulah yang membawanya dalam sebuah persahabatan hangat yang menyapanya. Sahabat hatinya yang kini mengisi kesehariannya. Dinda dan andini yang selalu setia mendampinginya karma bagi Gita, mereka berdua adalah sebuah inspirasi paling berarti untuk berbagai hasil karya beberapa lukisannya yang sukses diberbagai sudut kota hingga luar negeri. Bahkan Gita dalam kesehariannya hanya di habiskan untuk melukis dan melukis, tak pernah memperhatikan kesehatan fisiknya. Pingsan dan cairan merah dari hidungnya itulah yang menrutnya sudah terbiasa terjadi padanya saat ini tapi tak mematahkan semangat untuk membuat inspirasi baru bagi lukisannya.

“ ehh Git, minggu esok kamu gak ada acara khan..??” Tanya andini yang saat itu sedang menemani dirumah Gita karena orang tua Gita sedang ke luar kota.
“iya nich lama banget gak ke panti asuhan, jadi kangen sama keceriaan anak-anak disana” sambung Dinda sambil memasukkan beberapa cemilan makanan ke mulut sedangkan pandangannya tak luput dari lukisan Gita,
“ahh..gimana ya, liat ntar aja deh..aku khan masih dapat pesenan lukisan banyak dari pelanggan luar kota..tapi akan aku usahain kok” Kata Gita sambil memberi senyuman lembut dan tangannya masih menari dalam sebuah lukisan setengah jadi itu.
Sepenggal Arti Hidup Berarti Untuk Gita
Esok harinya Gita,Andini, dan Dinda langsung meluruskan keinginannya untuk berkunjung ke panti asuhan “ASIH”. Bersama canda tawa itulah Gita menjadi lebih tenang dan berkesan hidupnya.
“Git, Din… kita Bantu ibu itu masak yuk..” kata andini sambil menarik kedua tangan sahabatnya ke sebuah dapur panti asuhan, Gita, Andini maupun Dinda sangat menikmati Susana di dapur yang sederhana itu. Tapi tiba-tiba saja…
“ Gita, hidung kamu berdarah..” teriak Dinda
“ Kamu sakit ya, Git…?? Gak biasanya kamu mimisan seperti ini,,” sambung Andini.
“ Ahh..Cuma mimisan biasa aja kok, gak usah berlebihan deh..aku ke kamar mandi dulu ya..!!”
Andini dan Dinda merasa hal itu biasa karena yang mereka tau dari cerita Gita, Gita memang sering mimisan tapi itu hanya mimisan biasa. Gita merasa kepalanya begitu pening darah yang mengalir dari hidung Gita makin banyak. “ya Tuhan, beri aku waktu untuk membahagiakan orang yang sangat menyayangiku,” bisiknya dalam hati kecilnya. Gita melangkah keluar dari kamar mandi setelah dirinya membersihkan semua darahnya. Tapi selangkah ia melangkah terdengar suara merdu dari sebuah kamar di panti asuhan itu. “ aku rindu setengah mati kepadamu, sungguh kuingin kau tahu aku rindu setengah mati..” nyanyian lagu itu begitu lembut dinyanyikan seorang gadis cantik yang masih belia.
“Gita kamu dimana sih..lama banget ke kamar mandinya, dah sore nich..pulang yuk..” tak sempat Gita membuka kamar gadis itu, hentakan suara Dinda sudah membuat jengkel hatinya.Tanpa berfikir panjang akhirnya Gita memutuskan untuk segera pulang bersama kedua temannya tersebut.

Hari senin merupakan hari yang meguras imajinasi bagi sebagian murid TARUNA JAYA, pelajaran B.indonesia memang sulit bagi Dinda dan Andini, tapi menurut Gita pelajaran B.indonesia adalah tempat penyaluran sekaligus sumber inspirasi bagi Gita. Tapi entah mengapa tidak seperti biasanya Gita dalam ketenangan belajar harus bolak balik beberapa kali ke kamar mandi. Hidungnya menjadi sering berdarah tapi tiap kali di Tanya tentang semua itu Gita hanya memberi senyuman dan kata PALING CUMA PENYAKIT BIASA.

Rasa penasaran Gita pada gadis panti asuhan itu membuatnya pergi menuju panti asuhan ASIH , menyapa semua wajah anak-anak yang begitu polos membuatnya terharu dan meneteskab air mata.
“permisi bu, saya boleh mengganggu ibu sebentar gak ?” Tanya Gita yang saat itu sedang bertemu dengan salah satu ibu pengasu panti tersebut.
“ohh..nak gita to..iya boleh, memangnya tentang apa..??” Ibu panti itu kembali bertanya pada Gita.
“Disudut sana khan ada sebuah kamar yang kalau gak salah ada seorang gadis manis muda belia, kenapa di harus berada di dalam kamar itu sedangkan diluar kan masih ada banyak teman yang ingin bermain dengannya.” Pertanyaan itu spontan dikeluarkan oleh Gita pada ibu panti.
“jadi begini nak Gita, 2 tahun lalu ada sebuah kecelakaan besar di dekat panti ini, semua korbannya dikabarkan tidak terselamatkan tapi ternyata hanya ada satu korban yang masih punya harapan hidup yaitu NAYLA maka kami memutuskan untuk mengasuhnya dip anti ini walau kenyataan pahit tlah datang padanya yang harus menerima kenyataan kalau dirinya saat ini buta..” ibu panti sudah tidak bisa melanjutkan kalimatnya yang panjang lebar itu, air mata tak hnya keluar dari mata ibu panti tapi juga dari mata Gita bahkan mata hatiya pun seakan ikut menangis.
“ibu bisa antar aku ke kamar Nayla kan.?” ”iya nak, boleh sekali bahkan ibu berharapkamu bisa menjadi temannya saat ini”
Gita membuka pintu kamar gadis itu, tak kuasa ia membendung air matanya karma dihadanya kini adalah seorang gadis yatim piatu yang masih berharap kebahagiaan sperti dulu datang padanya. Gita memutuskan untuk pulang menenangkan dirinya.

Disekolah Gita makin sering melamun, bahkan kini keadaannya sangat memprihatinkan, wajahnya pucat seringkali pingsan dan saat pelajaran berlangsung terasa aneh bagi Dinda dan Andini karena kini terkadang tangan Gita seringkali terlihat kaku dan sulit di gerakkan tak lupa juga darah yang slalu keluar dari hidungnya.
“Gita, kamu yakin tidak sedang penyakit lain selain mimisan biasa yang kini sering terlihat aneh banget bagi kita”, Tanya Andini dalam 1 kesempatan saat Gita sedang di UKS karena pingsan saat akan mengikuti olhraga
“aku gak apa apa kok ,mungkin Cuma kecapean aja tadi juga aku gak sarapan jadi mungkin karena itu aku pingsan, jangan khawatirin aku ya..” andini dan Dinda memeluk Gita dengan penuh kasih saying.

Tanpa sepengetahuan Andini maupun Dinda, Gita makin sering mengunjungi Nayla . kini yang ada dalam fikiran Gita hanya ingin menjadi mata bagi Nayla. Hingga pernah suatu ketika Gita melontarkan janjinya yang akan membuat Nayla kembali menjadi seorang penulis handal walau harus nyawa sekalipun yang menjdi pilihannya. entah apa maksud dari kata-kata Gita tersebut. Meskipun Gitapun tau kalau sebenarnya hidupnya hanya tinggal menghitumg hari.

Hingga Gita dihadapkan sebuah kenyataan yang tak mungkin ia tolak, kanker yang menggerogoti tubuh Gita makin hebat. Karna kini Gita hanya bisa terbaring tak berdaya di atas tempat tidurnya. Gita punya semangat hidup yang memang luar biasa dan akhirnya di hari-hari terakhirnya itu ia memutuskan untuk tetap sekolah seperti biasa meskipun harus dalam keadaan sakit sekalipun. Tak sampai Gita masuk ke dalam kelasnya, dirasanya kepala begitu pening dan akhirnya ia terjatuh pingsan dengan hidung penuh darah.hanya waktu yang bisa menjawab tanda Tanya besar dalam hati Dinda dan Andini, orang tua Gita telah menceritakan tentang kanker jaringan lunak yang sudah lama Gita derita tapi Gita berharap agar teman-temannya tak tau tentang ini. Di dalam detik-detik terakhir hidupnya gita hanya berpesan agar salah satu anggota tubuhnya bisa berguna bagi orang lain. Tak lain adalah matanya, yang sesuai janjinya ia akan menjadi mata bagi Nayla walau harus kehilangan nyawanya. Bahkan sebelum Gita menghembuskan nafas terakhirnya, ia telah menyimpan beberapa kenangannya dalam sebuah buku kecil yang saat ini masih tersimpan dalam laci mejanya.

Tangisan air mata dari orang yang mengasihi Gita kini hanya bisa menangis diatas pusara Gita yang telah bersatu dalam tanah. Namun batu nisan yang diam tak seperti jasanya pada sesama, hingga ketika Nayla sudah bisa melihat lagi ia tak ingin lagi menecewakan orang yang menyayanginya. Nayla pun berencana untuk mencari buku kebaikan Gita dan berharap bisa belajar banyak dalam buku itu. Begitu pula dengan kedua sahabat Gita dan keluarga Gita yang ditinggalkannya , karena hidup masih panjang, mereka berharap bisa melanjutkan jasa-jasa Gita yang berhati mulia dan semoga Gita tenang di sisi yang Maha Kuasa.

_selesai_

PROFIL PENULIS
Nama : Afifatur Rohmah
Nama Panggilan : Afifa
Kelas : 9
Sekolah : SMPN 2 Palang, Tuban , Jawa Timur
Hobi : Menulis karya sastra
Cita-cita : Pengarang
Facebook : www.facebook.com/afifatur.rohmah2
E-mail : afifaaa_ra@yahoo.com

Motivasi : Seyumlah Selama Tak Menjepit Pipi.


Pagi ini, aku cuma berbaring di ranjangku, mendengar musik dari earphone, dan membiarkan nyamuk-nyamuk berkeliaran menyedot darahku.

Aku mengibaskan air asin yang bocor dari bendungan pelupuk mataku, beberapa kali menimpa tuts keyboard netbookku, kau tahu ? pagi ini aku berhasil membuat rekor 20 status galau per jam, dan sumpah serapah dua meter panjangnya di blog. gila kan !

Ya, segila segala sesuatu yang datang mendadak, lalu menghancurkan kebahagiaanku dalam festival olahraga nasional besok. besok !
"ray !"
 
    Mama mulai lagi ritual ketuk pintu kamar a.k.a cemas padaku. meski malas, aku tak pernah membiarkan wanita lembut itu khawatir berkepanjangan, maka aku pun bangkit, berpaling sebentar dari netbook dan segala macam caci makiku, dan....

Bruk !
Tahukah kau bagaimana rasanya saat tulang ekormu menyentuh ubin dan berbunyi, tuk ! yah..mama langsung menyerbu masuk seperti burung yang di lempar biji jagung, kemudian ia membantu mendudukkan ku dikursi, kursi istimewa untuk orang cacat, kau tahu lah...
"ray, kamu harusnya bilang dong pintunya nggak dikunci, ada yang sakit sayang ?" mama memelukku seperti bayi yang baru saja jatuh dari atas kasur.

Aku lalu melepaskan pelukan mama, " ray enam belas tahun ma..., lagi pula tiga hari terakhir ini rasanya sekujur tubuh ray kaku kayak mayat, jadi biar pun ray jatuh seribu kali, nggak akan membuat ray kesakitan..."

Lagi, aku membuat mama menangis. dihadapannya aku sepertinya kuat, tapi sebenarnya aku karung basah. aku menangis, aku mengeluh dan membawa sumpah serapah pada apapun selain pada mama. pada mama aku tak berani mengeluh, mama sendirian, aku takut ia tak sekuat aku.

Ah, semuanya sejak aku terjun dari lantai tiga sekolahku, tiga hari dimana aku akan mengangkat namaku dan nama sekolahku diajang bulu tangkis nasional tingkat pelajar.

Teman-temanku sesama ekskul bulu tangkis dan teman-teman kelasku, datang kerumahku, bukan untuk memberiku selamat atas terpilihnya aku sebagai perwakilan sekolah diajang itu, tapi untuk memberiku buah-buahan, lalu mengucapkan ' semoga cepat sembuh, tetap semangat ya !' dan mereka pulang dengan sara syukur karena masih diberi kesehatan.

Dan dan saat semuanya begitu suram dalam setiap jengkal utakku, aku bertemu orang aneh yang mulutnya penuh dengan kata-kata penuh cinta, penuh harapan, dan aku mual saat itu.

Yang ku tahu namanya zen, usianya dua puluh tahun, ia seorang motivator dan penulis buku best seller yang mengajak orang semangat hidup bla..bla..bla...aku tak mengerti mengapa ia begitu terkenal, disukai banyak orang ? apa karena ia sempurna punya hidung mancung dan kulit yang putih ? atau karena ia bisa berdiri tegak..?
“berhentilah untuk mencoba membuat ku merasa lebih baik, karena aku takkan lebih baik lagi dari ini !” bentakku padanya suatu kali.

Ia tersenyum, menampakkan lagi wajah malaikat yang sesungguhnya meluluhkan hatiku, “aku nggak pernah mencoba membuatmu lebih baik, bahkan tak juga mencoba membuat orang lain lebih baik, kamu tahu ? aku Cuma bertugas membuat orang tersenyum selama ia tak perlu penjepit pipi..”

Aku tersenyum miris, “kamu pikir ini lucu ?”

Zen diam berpura-pura berfikir, “enggak.”

Sejak itu aku malah lebih sering bersamanya, ia seperti abang yang ada dimana-mana untukku, bahkan nyamuk saja tak pernah muncul saat aku mengharapkannya ?

Sejak aku bertemu abang baruku, aku kembali sekolah meski tak lagi dijuluki bintang bulu tangkis. Tak apalah, zen bilang untuk menjadi bintang aku tak perlu kaki dan tangan yang sempurna, aku cukup punya api yang membara di sini, di dadaku...
“tapi zen, bahkan untuk naik tangga sekolah saja aku merepotkan...”

Dan sejak itu pula aku mulai bisa menerima semuanya dengan lapang dada, aku mulai menyadari seperti yang zen bilang bahwa rayap tak pernah minta di tuntun untuk tahu betapa tanpa sepasang matapun ia bisa membangun sebuah menara.
“tapi zen...tapi zen....tapi zen...” dan semua tapi-tapian itu hilang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu dan aku mulai sibuk dengan kegiatan ilmiah disekolah. Aku mulai tak perlu lagi zen bermulut penuh busa untuk menghentikan setiap keluh kesahku.

Suatu kali, saat pulang sekolah zen datang ke rumah ku dan lucunya dia dengan dua penyangga kaki diketiaknya, “hei, zen, apa ini bagian dari semua hal yang kau rencanakan untuk membuat aku senyum tanpa penjepit pipi ?”

Zen tersenyum, “ ini bagian dari hidup...kamu tahu hidup tak pernah berhenti meski sebagian penting darinya tak lagi berfungsi, hem, kamu mengerti..?”

Aku mengangguk lalu tersenyum,”enggak zen, aku nggak ngerti, sekali-kali pake bahasa gaul kek..”
“suatu hari nanti kamu akan mengerti...”.

Ya, sampai dua minggu kemudian dan aku di tugasi Bu mela untuk mengadakan wawancara dengan pasien di rumah sakit blabla. Aku tak pernah mengerti kalimat yang di ucapkan zen saat terakhir kali bertemu denganku, aku tak berusaha mencarinya dan tak juga memohon mohon minta penjelasan kalimatnya itu, tidak ! mungkin dia sibuk, mama bilang ia orang hebat, ia mungkin sibuk !

Sudahlah, jangan-jangan nanti dia tiba-tiba alay dan saat aku memohon-mohon dia malah bilang, ‘mau tahu aja apa mau tahu banget ? kan berabe...

Di rumah sakit blabla, aku nampak benar seperti orang linglung, yah...bingung siapa yang harus ku wawancara, apa aku harus mewawancarai bayi baru lahir dan bertanya, bagaimana rasanya didalam perut ibu ? konyol.

Dan aku putuskan untuk bertanya pada entah siapa, yang duduk dikursi roda dan bertopi pandan yang sedang merenung dijendela besar rumah sakit ini.
“maaf..”aku menyentuh pundaknya perlahan, takut tiba-tiba dia berbalik dan mendorong kursi rodaku kejendela besar sampai kacanya pecah dan aku terbang seperti dulu.

Tidak, ia berbalik dan tidak mendorongku, ia malah membuat ku menjatuhkan papan dada dan pulpen yang ku pegang erat-erat, “kamu ?”
“ceritakan zen, dan mengapa ?! “aku seperti lupa hendak apa aku ke rumah sakit ini, aku tak perlu mewawancarai laki-laki bertopi pandan berkursi roda itu, ia zen !
“kau sudah menemukan jawabannya ray ?”zen lagi lagi tersenyum, ia cukup membuatku terkejut setengah mati.

Tiga hari kemudian aku tak pernah lagi mengharapkan kedatangannya kerumahku seperti biasa, sebenarnya aku takut, tapi aku tak bisa menampakkan betapa aku marah padanya, ia berbohong.

Sepulang sekolah, aku mengunjunginya di kamar blabla no blabla lantai blabla rumah sakit blabla, kau tahu ? sejujurnya aku ingin tertawa melihat kepala zen jadi plontos seperti bakso, tapi sekarang aku ingin menangis.
“zen, apa ini bagian rencana mu membuat aku merasa lebih baik..?” tanpa sadar aku menjatuhkan setetes air yang begitu cepat turun secepat semua kejadian ini.

Zen diam, selang oksigen dihidungnya bergerak sedikit pertanda zen masih mendengar suara ku yang sedikit terisak. Lalu zen berusaha tersenyum dengan susah payah...
“zen, mengapa kau sekuat itu ? kau tak pernah bilang bahwa kau juga sama sakitnya dengan aku...padahal kalau kau bilang, aku pasti akan cepat lebih baik...”

Zen tersenyum lagi, sepertinya bahkan hanya untuk menunjukkan senyum saja ia sulit, tapi aku menyadari tanpa kata-kata dan mulut berbusa, ia telah memberi ku satu kalimat lagi, ‘senyumlah selama kau tak perlu penjepit pipi...’.

Maka, aku mengusap air mataku dan aku bernafas lega, “ terima kasih zen...”.

Kau aneh zen ! kenapa kau begitu bodoh, kau biarkan jasadmu mati tapi kau malah meninggalkan kalimat-kalimat itu disini kau tahu ? kalimat itu takkan pernah hilang dari pikiranku selamanya, kenapa tidak kau bawa saja ? biar suatu saat kau bisa cerita pada semua penghuni syurga ?kau memang abang teraneh yang pernah ku kenal, tapi...

Thanks zen, sekarang aku sudah bisa berdiri tegak...
PROFIL PENULIS
Nama : Fatimah Az-zahra
Sekolah : MAN 1 Bandung
Add facebook : az-zahra fatimah

Mencapai potensi hidup yang maksimal


Setiap orang mendambakan masa depan yang lebih baik ; kesuksesan dalam karir,
rumah tangga dan hubungan sosial, namun seringkali kita terbentur oleh berbagai
kendala. Dan kendala terbesar justru ada pada diri kita sendiri.
Melalui karyanya, Joel Osteen menantang kita untuk keluar dari pola pikir yang
sempit dan mulai berpikir dengan paradigma yang baru.

Ada 7 langkah agar kita mencapai potensi hidup yang maksimal :

* Langkah pertama adalah perluas wawasan. Anda harus memandang kehidupan ini
dengan mata iman, pandanglah dirimu sedang melesat ke level yang lebih tinggi.
Anda harus memiliki gambaran mental yang jelas tentang apa yang akan Anda raih.
Gambaran ini harus menjadi bagian dari dirimu, didalam benakmu, dalam percakapanmu,
meresap ke pikiran alam bawah sadarmu, dalam perbuatanmu dan dalam setiap
aspek kehidupanmu.

Media Tukar Link

Halo sobat bagi yang ingin memperluas koneksi dan mendapatkan posisi bagus di Google bertukar link blog/website yuk, memang masih kecil blog saya ini tapi lama kelamaan akan menjadi Bukit.
kalo yang mau tuker link cara nya mudah gan..
pertama:

1. Copy code dibawah ini dan letakkan di blog/website sobat..